Memperjuangkan Kemerdekaan Melalui Dunia Pers di Masa Hindia Belanda
Kondisi masyarakat Indonesia di masa penjajahan Belanda sungguh memprihatinkan. Menempati strata terbawah dengan hak paling minim, diperas tenaganya, diperbudak di negerinya sendiri, tidak bisa mengembangkan diri, dan hanya bisa menerima nasib yang menyedihkan. Para cendekiawan pun menyuarakan kondisi ini melalui tulisan-tulisannya di dunia pers. Mereka memberikan penerangan, memberikan pencerahan, menyadarkan masyarakat atas kondisi serba kekurangan ini, sebagai bangsa yang perlu bangkit berjuang memperbaiki diri melalui pendidikan, usaha sosial, kegiatan ekonomi, dan sebagainya.
Pada tahun 1904, R.M.T Ario Kusumo Diputro dalam Tijdschrift Binnenlansche Bestuur (TBB), menulis bahwa orang Indonesia banyak kehilangan waktunya, kadang-kadang dihukum karena tidak menaati perintah dalam menanami sawahnya, ataupun ia terpaksa menanti-nanti perintah dari atas yang tak kunjung tiba, ganti rugi tidak diperolehnya dan untuk mengajukan keluhan tidak mungkin ia berani, sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidaklah membantunya, atau menindaknya agar rasa yang tidak puas seperti itu tidak sampai menyebar luas, sehingga menganggu ketentraman umum.
Dr. Wahidin Soedirohoesodo juga mencurahkan gagasan-gagasan mulianya agar bangsa ini bisa terlepas dari kondisi sera kekurangan ini di surat kabar yang dipimpinnya, yaitu Retno Dhoemilah. Bahkan beliau juga mempelopori untuk berkeliling mengadakan penerangan tatap muka dalam rangka mengumpulkan dana belajar. Perjalanan ini kemudian mempertemukan beliau dengan para siswa STOVIA yang kemudian menginspirasi berdirinya organisasi pertama di Indonesia, Boedi Oetomo.
Hingga tahun 1902, telah lahir berbagai surat kabar baik yang harian maupun mingguan, yang tujuan awalnya adalah sebagai pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industri. Pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang terbit dalam surat kabar tersebut, agar tidak berbahaya bagi pemerintah kolonial. Secara umum dapat dikatakan isi surat kabar di masa ini berhaluan politik netral.
Namun sejak akhir abad ke-19 dan aawal abad ke-20, tulisan-tulisan di dalam surat kabar pun mulai bersifat kritis terhadap politik kolonial Belanda di Indonesia, diantaranya adalah majalah Bondsblad di tahun 1897, Java Post tahun 1902, dan De Banier tahun 1909.
Perjuangan sosio-kultural telah terlewati dan kemudian berkembang menjadi perjuangan politik. Sarana komunikasi makin maju, pendidikan masyarakat juga makin meluas dan tingkatannya lebih maju. Hal ini membuat ide-ide yang terkandung dalam kegiatan penerangan yang berlangsung semakin meluas. Secara umum, tulisan-tulisan tersebut menggambarkan tentang:
- Adanya penderitaan dan keterbelakangan yang dialami bersama oleh bangsa Indonesia yang disebabkan oleh penindasan dan penjajahan
- Untuk terhindar dari penderitaan itu, bangsa Indonesia harus bangkit bersama-sama melawan penjajahan
- Perjuangan tidak dapat lagi dilakukan sendiri-sendiri oleh para pejuang di setiap daerah, namun harus berbentuk gerakan yang bersatu
Tulisan-tulisan yang menggambarkan hal-hal di atas, tentunya bertentangan dengan pemerintah Hindia Belanda, karena dianggap menghasut dan mengancam eksistensi kekuasaannya, sehingga disebut sebagai propaganda yang harus dilawan.
Pemerintah kolonial pun banyak melakukan pembatasan-pembatasan dalam bentuk sanksi perundang-undangan, yaitu pembatasan kebebasan mengutarakan pendapat yang dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial. Salah satu yang menjadi korbannya adalah Sukarno, yang dianggap pidato-pidatonya menghasut rakyat, maka ia ditangkap dan dipenjara. Untuk surat kabar, dikenakan delik pers (persdelict), yang sangat membatasi gerak para insan pers.
Kedudukan per terbitan Belanda lebih kuat daripada pers bumiputera karena modalnya lebih besar. Hal ini mempengaruhi gerak hidup bangsa Indonesia, termasuk gerak persnya. Karena lemah di bidang ekonomi ini maka sirkulasi surat kabar tak bisa mencapai puluhan ribu atau ratusan ribu eksemplar tiap hari. Padahal ketika awal-awal munculnya Boedi Oetomo, sirkuasi koran dan majalah bisa diatas seribu, dan hal tersebut bisa dibilang lumayan. Modal yang susah dikumpulkan karena hanya berasal dari sumbangan gotong royong membuat penurunan jumlah edaran koran di masa selanjutnya. Banyaknya halaman dan ukuran koran dan majalah pun berubah. Hurufnya amat sederhana dan lebih sedikit dibandingkan dengan koran terbitan Belanda. Pemasang iklan pun makin tak tertarik, karena koran bumiputera tidak bisa diandlkan dari segi bisnis. Jumlah pembaca juga terbatas, penjualan secara eceran jumlahnya masih jauh karena jumlah cetaknya juga masih terbatas, bahkan di kota-kota belum ada agen dan sub agennya. Banyak koran dan majalah yang timbul tenggelam di masa itu.
Namun begitu meski lemah di bidang ekonomi dan pengelolaannya, kekuatan untuk menuntut kemerdekaan pers tetap ada, dengan menggandeng organisasi pergerakan nasional, golongan agama dan sosialis, yang semuanya diilhami oleh sebuah cita-cita rakyat yang ingin merdeka. Banyak koresponden yang dengan senang hati mereka tidak dibayar, namun hanya dikirimkan korannya saja, asal beritanya dimuat di koran tersebut.
-----
Penulis
Rosita Budi Suryaningsih
-----
Daftar Pustaka
Departemen Penerangan. (1983). Sejarah Departemen Penerangan Republik Indonesia. Proyek Penelitian dan Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan.
0 Comments:
Leave A Reply